Andai Aku Bisa Mengulang (Fiksi)

Tema :
Andai Aku Bisa Mengulang Waktu
(Fiksi)

Kasih Tak Berujung
By : Endarryati

"Le, jangan lupa tugasmu hari ini, ya!" Suara tegas Pak Harno

"Iya, Pak," jawab Hasan dengan semangat.
Hasan adalah anak Pak Harno yang no 5 dari sembilan bersaudara. Remaja kerempeng usia  belasan tahun  ini , dalam keseharianya diberi tugas mengambil air ke tetangga sebelah sebelum berangkat sekolah. Didikan orang tuanya yang agak keras membuat Hasan menjadi pribadi yang mandiri dan tidak pantang menyerah.

"Has, dalam ujian kali ini kamu harus persiapkan diri sebaik-baiknya, agar besok kamu bisa masuk ke perguruan tinggi negeri, ya!" ujar Pak Harno penuh harap.

"Inggih, Pak." jawab Has penuh takzim.

Has sangat menghormati kedua orang tuanya. Dia sangat mengerti harapan bapaknya sangat tertumpu padanya, bahwa suatu saat dia harus bisa mengangkat derajat keluarganya.

"Harapan Bapak, kamu bisa masuk ke fakultas kedokteran, ya!" Hasan hanya mengangguk hatinya gamang. Apakah orang tuanya mampu membiayai? Karena kuliah di kedokteran tidaklah murah, padahal bapaknya hanyalah seorang guru.

Dan, Has hanya  lolos pada pilihan kedua melalui  seleksi jalur  bebas tes di fakultas sosial politik. Has mengerti Bapaknya agak kecewa namun bisa menerima. Tidak pantang menyerah pada tahun kedua dia mencoba lagi ikut tes, dan kali ini dia berhasil masuk ke fakultas kedokteran.

***
Kuliah di Fakultas ini bagi dia tidaklah mudah, disamping biayanya mahal dia terpaksa harus kos. Hari-hari di jalaninya dengan penuh keprihatinan. Berbagai  profesi dijalani agar bisa bertahan. Menjadi tukang kebun pun pernah dijalaninya.

Sudah dua jam pemuda ini berdiri di depan pintu Rektorat kampusnya. Hari ini Has ingin menemui Rektornya langsung, untuk sedikit  minta tenggang waktu tentang pembayaran uang kuliahnya. Sudah hampir putus asa, cara apalagi yg harus ditempuh supaya bisa bertahan di kampus ini.

"Tidak bisa Has, kan kamu sudah dapat beasiswa dan juga keringanan dari kampus." Suara Rektor itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Lagi-lagi pemuda tangguh ini harus gigit jari. Dengan langkah gontai Hasan melangkah pergi sambil memutar otak mencari jalan keluar. Terbayang wajah orang tuanya yang berharap banyak kepada dirinya.

"Yup, ini yang harus saya lakukan," gumamnya dalam hati. Iya, akhirnya Hasan menempuh jalan ini, mengambil cuti lalu mencoba mencari keberuntungan di tempat lain.

***

"Le, pulanglah sebentar, Bapak kangen," suara parau Bapaknya terdengar dari ujung telpon. Has terpaku, tak keluar sepatah katapun dari mulutnnya.Tubuhnya lunglai tak berdaya, air matanya menganak sungai di pipinya.Tak biasanya suara bapaknya seperti ini. Perasaanya tak menentu.  Pemuda ini sekarang agak kurusan, sejak mengikuti pendidikan militer  8 bulan yang lalu. Sejak dia tak bisa bertemu keluaganya, karena harus di karantina.

"Le, bagaimana keadaanmu?" tanya Pak Harno lirih. Tubuh lemahnya tergolek di pangkuan anak kebanggaanya.

"Baik kok, Pak," jawab Has sambil terus memeluk bapaknya. Dalam hatinya berjanji setelah pendidikanya usai dia akan melanjutkan lagi kuliahnya, yang sempat dia tinggalkan.

"Maafkan, Bapak ya."
Pak Harno sudah lemah sekali kondisinya. Pertemuan itu sungguh mengharu biru. Sudah hampir satu tahun bapak dan anak ini tak saling bertemu. Dan, ini adalah pertemuan terakhirnya. Di pelukan Has Pak Harno pergi untuk selamanya.

**
"Mas, makanlah dulu sebelum berangkat," Suara istrinya membuyarkan lamunanya

"Iya, Dik terima kasih," jawab Has sambil terus membayangkan wajah bapaknya. Bapaknyalah yang terus memberikan dorongan dan semangat, agar tidak lelah mimpinya. Dia selalu berandai-andai, jika saja waktu bisa diulang. Dia ingin persembahkan semua pencapainya sekarang ini untuk bapaknya. Menjadi seorang dokter sekaligus abdi negara  yang bisa mengangkat derajat kehidupan keluarganya.

"Pak, inilah anakmu sudah aku wujudkan harapan dan cita-citamu. Semoga kau bahagia disana," gumam Has lirih. Ada tetes air bening di sudut matanya.

0 komentar:

Posting Komentar