Penyesalan (Fiksi)


Tema : Penyesalan (fiksi)

Sepenggal kisah
Oleh : Endaryati.

Perempuan tua berwajah legam itu masih duduk di depan  tungku, kepulan asap menyamarkan kerut di wajahnya. Entah kenapa,  pagi ini perapianya tidak bisa cepat menyala seperti biasanya.

"Nek, sarapanya sudah matang?" tanya Sekar.

"Sebentar ya, Nak kamu mandi dulu sana ge!" Jawab neneknya, sambil  membuat bumbu nasi goreng. Sudah satu minggu ini Nenek Sekar agak tidak enak badan, hatinya sering gelisah memikirkan cucu satu-satunya ini. Baru saja Sekar keluar dari Rumah Sakit, setelah satu minggu di rawat.

"Ayo, Nduk sarapan dulu waktunya sudah siang nanti kamu terlambat lagi!"

"Iya, Nek." jawab Sekar sambil membetulkan seragam sekolahnya. Sekar menyantap sarapan pagi  dengan lahap, walaupun hanya nasi goreng tanpa krupuk, apalagi telur. Bagi mereka sudah bisa makan saja sudah bersyukur, karena memang kondisinya sangat kekurangan. Sekar adalah cucu satu-satunya Mak Darmi yang menemaninya sejak kecil.

"Sekar berangkat dulu ya, Nek." Sekar berpamitan sambil mencium Neneknya. Sekar berlari kecil sambil bernyanyi-nyanyi riang. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, siapa sangka Sekar gadis periang ini nekat melakukan sesuatu di luar nalar.

Mak Darmi mengantarkan cucunya di depan pintu, hingga lenyap dari pandanganya. Hatinya pilu, terkenang peristiwa satu minggu yang lalu, saat Sekar nekat ingin mengakhiri hidupnya dengan cara minum racun. Sekar tidak punya maksud apa-apa dia hanya ingin bertemu Ibunya, karena neneknya selalu bercerita Ibunya sudah meninggal.
*

Bermula saat teman-teman sekelasnya  datang ke rumahnyal, karena sudah tiga hari Sekar tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Teman-temant Sekar mengira dia sakit, padahal Sekar tidak sekolah karena tak punya uang saku. Bagi Sekar itu tidak masalah sudah terbiasa tidak punya uang, bahkan makanpun tidak mesti tiga kali sehari.

Ada kerinduan yang sangat mendalam di lubuk hati Sekar kepada kedua orang tuanya. Apalagi saat teman-temanya menanyakan ayah dan ibunya. Seperti di bangkitkan, rasa itu kembali hadir menghantui hari-harinya. Sejak lahir Sekar memang belum bisa mengenal ayah ibunya, karena 2 bulan sejak kelahiranya kedua orang tuanya terusir dari rumah neneknya.

*

"Sudahlah, Nduk kamu pilih saja tetap tinggal di rumah ini tanpa suamimu, atau bersama suamimu pergi dari rumah ini!" Ujar Mak Darmi tegas kepada Sumi anak perempuan satu-satunya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut wanita muda ini, dia hanya diam. Sebuah pilihan  yang teramat berat bagi dirinya.

"Maafkan Sumi ya, Mak. Hari ini aku mohon pamit, terpaksa harus meninggalkan Mak sendirian demi sebuah kebaikan. Titip Sekar ya, Mak." kata Sumi dengan tangis yang tertahan.Sejak awal menikah Mak Darmi memang tidak suka terhadap perangai menantunya yang kasar. Bahkan rumah yang ditempati sekarang ini pernah akan di bakar.

Keinginan Mak Darmi sebenarnya adalah agar Sumi bercerai saja. Tetapi, bagi Sumi tidak semudah yang Mak Darmi bayangkan. Karena dua nyawa taruhanya Sekar atau dirinya. Dan Sumi memilih pergi, dengan harapan suatu saat masih bisa bertemu Sekar dan Emaknya.

9 tahun sudah berlalu, keinginan terbesar Mak Darmi bisa bertemu kembali dengan anak semata wayangnya, Sumi. Dan, bisa memenuhi keinginan cucunya bertemu dengan kedua orang tuanya.

Seandainya dulu Mak Darmi bisa bersabar sedikit saja, mungkin peristiwa yang hampir merenggut nyawa cucunya tak terjadi. Namun penyesalan belum tentu bisa mengembalikan kebahagianya. Mak Darmi hanya bisa berdoa semoga masih ada kesempatan mempertemukan Sekar dan Ibunya.

0 komentar:

Posting Komentar