Sepenggal Kisah  Bersama  Eka
(Buku solo, Bab 4 : Merangkul Takdir)

Suatu hal yang paling tidak saya sukai hari itu harus aku hadapi. Yaitu berpisah dengan anak-anakku yang masih kecil-kecil. Mau tidak mau suka atau tidak harus aku hadapi. Suasana batinku sangat tersiksa. Sudah hampir satu pekan setiap malam tidak bisa memejam­kan mata. Khawatir dan sedih selalu menghantui perasaan hatiku.
“Ya Allah, Engkaulah sebaik-baik penolong, hilangkan keresahan hati ini.” Kukhususkan doaku dalam sepekan ini untuk menghilangkan keresahan dan keraguan hati. Yah, belum pernah hatiku resah seperti ini. Tak tega rasa hati ini meninggalkan anak-anak, dalam waktu yang mungkin agak lama.
Berbagai hal harus kami pertimbangkan dan kami persiapkan. Harus kami titipkan kepada siapa dua anak kami ketika harus pergi, dan sebagainya.
Setelah melalui pertimbangan akhirnya kami sepakat untuk memboyong ibuku dan mertua untuk bisa menemani anak-anak ketika kami berdua harus pergi. Dan alhamdulillah kedua orang tua kami dengan senang memenuhi permohonan kami. Satu hal lagi yang saya syukuri keluarga besar kami mendukung seluruh usaha kami.
Berbekal rujukan dari rumah Sakit Kariadi Semarang, Bertiga kami berangkat kejakarta (RSCM) untuk melanjutkan pengobatan yang agak tertunda, karena terkendala masalah biaya yang harus dikumpulkan terlebih dahulu. Alhamdulillah hal-hal yang semula kami khawatirkan tak terjadi sama sekali. Anak-anak melepas kami dengan rasa bahagia. Mereka mengerti bahwa kepergian kami adalah untuk pengobatan adiknya.
“Terima kasih ya Allah, Engkau telah berkenan mengabulkan doa kami.”
Berbagai hal kami jumpai di sini. Pasien anak-anak dengan kasus-kasus yang berat dari segala penjuru tanah air ada di sini. Subhanallah, sungguh suasana yang sangat mengharu biru bertemu anak-anak yang kuat dan orang tua luar biasa tegar.
Kami bertemu hampir tiap hari walaupun dengan anak-anak yang berbeda-beda tetapi rata-rata kasusnya sama yaitu adanya kelainan bawaan sejak lahir. Kasusnya memang berat, karena rumah sakit daerah tidak bisa menangani maka harus dibawa ke RSCM yang notabene adalah rumah sakit rujukan nasional. Mulai dari Aceh, Kalimantan, Bali, bahkan Papua ada disini. ada yang sudah tiga bulan, enam bulan berada di Rumah Sakit ini untuk menjalani terapi dan pengobatan.
Malaikat-malaikat kecil ini sangat luar biasa hebat dan kuatnya apalagi orang tuanya. Diabaikan seluruh kepentingan di luar kesembuhan anaknya, apapun dipertaruhkan.Tenaga pikiran dan seluruh  hartanya nyaris tak tersisa. Bertemu mereka seperti keluarga. Merasa tidak sendiri menghadapi  cobaan ini. Senasib dan sepenanggungan itu membuat semangat berjuang lebih kuat.
Ada satu pasien anak yang jadwalnya bersamaan dengan putriku. Seorang anak laki-laki sebaya Rahma, umurnya sekitar 3 tahun.
“Putra Neng  sakit apa?” tanyaku singkat.
“Anakku sakitnya ... bermacam-macam, Bunda,” jawab ibu muda ini kelihatan pasrah. Ada gurat kelelahan diwajahnya.
“Oh ya, namanya siapa putranya?”
“Namanya Eka, dia putraku saya satu-satunya, Bun,” jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
Beberapa saat kami sama-sama terdiam sejenak. Rahma anakku asyik bermain ayunan sambil minum susu. Aku lihat Eka sedang rewel di pangkuan mamanya. Sambil mengawasi Rahma saya berusaha membantu untuk menenangkan Eka.
Perkembangan fisik Eka memang agak berbeda dibanding anak seusia dia. Sejak kulihat pertama kali anak ini hanya digendong dan ditidurkan saja. Kulitnya putih pucat  dan selalu dikenakan kacamata tebal.
Rupanya dia menderita kelainan bawaan sejak lahir, seperti halnya Rahma. Hanya kasusnya yang berbeda.
Menurut cerita Mama Eka, ketika hamil dia terkena toksoplasma. Toksoplasma ini gejalanya seperti flu ringan biasa, namun lebih diutamakan adalah meningkatkan kewaspadaan pada ibu hamil atau yang sedang menjalani program hamil.
Berdasarkan  hasil penelitian 40% wanita hamil yang terinfeksi toksoplasma di awal kehamilanya maka 15% bayi yang dilahirkan akan mengalami abortus (keguguran) atau lahir prematur. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 90%  bayi yang terinfeksi dapat lahir normal meskipun pada pertumbuhanya mereka akan mengalami gangguan pada saraf mata, pendengaran, kelainan sistemik seperti pada hati, limpa, pucat, kering dan sebagainya. Toksoplasma ini dapat menjangkit kepada siapapun, tidak terbatas pada jenis kelaminya. Dan berbahaya pada ibu hamil karena bisa mempengaruhi kesehatan janin seperti keteranga tersebut diatas.  (http://www.pesanlab.com/blog).
Hal ini juga tampak pada malaikat kecil ini. Di  usianya yang sudah 3 th tahun perkembangan fisiknya tidak wajar seperti anak-anak sebaya lainnya.
“Ini kacamata memang permanen dipakai terus ya, Neng?” tanyaku agak ragu, takut menyinggung perasanya.
“Iya, Bun. Eka memang tidak bisa melihat sejak lahir bahkan sampai sekarang sudah operasi mata 4 kali,” jawab mama Eka dengan lebih santai. Tampak seperti sudah biasa menghadapinya.
“Jadi sekarang sudah bisa melihat Neng?”
“Belum, kelihatanya baru bisa membedakan cahaya antara gelap dan terang.”saut Mama Eka.
Tetapi dari gestur tubuhnya saya bisa melihat Eka bisa merasakan keberadaan mamanya. Kadang-kadang dia terlihat ter­senyum ketika mamanya mengiburnya dengan kata-kata sayang. Apalagi kalau mamanya mulai bercerita memberikan kata-kata semangat kepadanya. Tangan dan kakinya mulai bergerak-gerak seperti ada energi yang mendorongnya. Tampak ada kegembiraan yang muncul dari dalam hatinya.
“Sayang, hari ini kita belajar lagi ya kamu harus semangat biar cepat pinter,” ucap Mama Eka sambil mengganti pampers Eka yang sudah mulai penuh.
Itulah kalimat mama Eka yang kudengar setiap pagi, ketika mulai antri untuk terapi di ruang tumbuh kembang anak. Kata-kata itu selalu menyihirku. Kalimat semangat yang menggetarkan ‘arsy lalu menembus ke dalam batin malaikat kecil ini.
Saya yakin itu meskipun Eka tak mampu mendengar. Tetapi mata batin malaikat kecil ini mampu menangkap dengan bahasa kalbunya. Hubungan batin dua manusia antara ibu dan anak memang tak bersekat.
Ikatan batin yang luar biasa ini tak terbantahkan oleh siapapun. Bahkan seorang anak bisa membedakan mana ibunya dan yang bukan cukup melalui baunya saja. Bau khas ibu yang selalu menemaninya sejak lahir. Hal ini juga tampak pada Eka. Wajah tampanya nampak berseri seri ketika mamanya ada disampingnya.Walaupun tak ada kata-kata yang dia bisa dengar.
Hari ini Eka dapat giliran terapi siang karena dapat antrian belakang.
“Saya berangkat dari kontrakan kesiangan, Bun. Maklum cucian tetangga banyak,” suara Mama Eka masih tampak terengah-engah.
“Capek sekali pasti kan, ya,” jawabku menimpali.
“Pasti Bun, tapi aku senang artinya rezeki Eka hari ini lumayan bisa untuk beli pampers.” Jawab Mama Eka riang. Kata-katanya meluncur tampak sangat bahagia sekali. Subhanallah, ingin rasanya kupeluk dia.
Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulut ini. Terbuat dari apakah hatimu, Neng. Allah telah memberimu hati emas yang bersinar dan berhati baja yang tak lekang ditimpa peliknya kehidupan. Akibat kelelahan Mama Eka  tertidur pulas di ruang tunggu. Namun Eka tetap dalam pangkuannya.
Rasa tak tega memenuhi ruang hatiku, kuambil Eka perlahan agar ibunya bisa tidur sejenak. Bersama putriku Rahma kuajak Eka bermain, bercanda ria dan ternyata dia bisa merespon. Baru kali ini aku bisa memandang dari dekat wajahnya.
Tampan sekali anak ini walaupun tertutup rapat oleh kaca mata tebalnya. Iya, anak ini tampan sekali mukanya tirus, hidungnya mancung dan berkulit bersih. Rambutnya hitam legam, tebal sekali. Seperti wajah Mamanya, cantik!
Konon menurut cerita mamanya kenapa dia selalu dipakaikan kacamata, karena matanya sangat rentan terhadap segala sesuatu yang berasal dari luar, misalnya sinar ataupun cahaya. Bola matanya selalu bergerak, tak bisa berhenti. Tak tega melihatnya kalau kaca matanya di lepas. Kusapu lembut pipi malaikat kecil ini, kusut sekali seperti kurang gizi, kulitnya keriput.
Pupil matanya agak menonjol keluar, nafasnya agak berat dan sesekali agak sesak nafas. Tubuh mungilnya seperti menahan rasa sakit yang dalam namun tak mampu dia ucapkan. Rasa tak nyaman membuatnya sering rewel, terkadang aku membantu menenangkanya.
“Tak tau kenapa anak ini sering kencing, Bun. Bahkan anggaran terbesar itu untuk beli pampers daripada beli susu,” kata Mama eka sambil mengganti pampers Eka karena sudah penuh.
“Eka juga lumpuh, Bunda tidak bisa bergerak tubuhnya lemas,” jawab Mama Eka menatapku tanpa ekspresi.
“Subhanallah, kuat sekali kamu Nak,” mataku mulai berkaca-kaca, mendengar kisahnya.
“Menangis saja kadang-kadang Eka sudah tak bisa bersuara, Bun lemas tak punya tenaga,” keluh Mama Eka sambil megusap air liur Eka yang terus menerus keluar. Fungsi saraf anak ini rupanya  juga terganggu. Terlihat dari gerak motoriknya yang tak bisa terkontrol dengan baik.
Seringnya berinteraksi membuat kami sudah seperti keluarga, berbagi cerita dan saling menguatkan. Mama Eka sering menceritakan kisah hidup keluarga kecilnya, yang penuh warna.
Dulu, kehidupanya diawali dengan niat yang kuat untuk mewu­judkan keluarga yang bahagia. Walaupun hidup di kota besar seperti Jakarta tidaklah mudah. Dengan tekad yang kuat mereka mulai menapaki kehidupan dengan harapan bisa melaluinya dengan selamat. Satu tahun dari usia perkawinanya lahirlah putra pertamanya.
Sejak awal, Mama Eka dan suaminya bekerja di sebuah pabrik. Mereka dibantu ibunya untuk merawat Eka ketika ditinggal bekerja.Walaupun sejak bayi Eka selalu keluar masuk Rumah Sakit, namun pasangan ini selalu kompak bergantian menemani putranya terapi di Rumah sakit.
Tetapi kondisi ini tidak terlalu lama berlangsung. Menjelang Eka berusia satu tahun, goncangan mulai terasa dalam kehidupan keluarganya. Suaminya jarang sekali pulang ke rumah. Uang belanja mulai tidak diberi. Bingung, sedih campur aduk jadi satu. Hingga akhirnya ayah Eka betul-betul tidak kembali, meninggalkan dia dan Eka yang harus terus berobat.
“Jadi sudah berapa tahun ayahnya Eka tidak kembali ke rumah, Neng?”
“Sejak Eka berumur satu tahun, Bun berarti sekitar 2 tahun yang lalu,” jawab Mama Eka pasrah. Sudah tak ada lagi kemarahan tampak di wajahnya.
“Sudah dicari, kemana kira-kira ayahnya Eka pergi?” selidikku
“Sudah, Bun termasuk ketempat saudara-saudaranya pun nggak ada yang tau,” jawabnya dengan suara yang agak meninggi. Aku tak berani lagi bertanya, meskipun masih banyak pertanyaan yang ingin kusampaikan.
“Dia juga sudah pindah kerja, dari tempat yang dulu. Air mataku sudah habis Bun, percuma saya ratapi ini memang takdir yang harus saya hadapi,” suaranya agak ketus. Ada kemarahan yang tertahan di sana.
“Demi Eka juga saya harus keluar dari pekerjaan. Supaya bisa merawat dan menemani Eka terapi. Karena neneknya tenaganya sudah tidak kuat lagi,” celotehnya tanpa jeda. Aku semakin kagum akan ketegaran hatinya. 
“Maaf Neng, lalu dari mana biaya hidup dan biaya terapi untuk Eka,” tanyaku tak mengerti.
“Ya dari mana saja, Bun kadang saya bekerja serabutan di rumah mencuci dan setrika. Kadang disuruh tetangga untuk membelanjakan. Apa saja deh, yang penting tidak meninggalkan Eka terlalu lama. Kalau untuk terapinya gratis alhamdulillah.”
“Alhamdulillah, semoga Neng sehat terus ya!”
“Aamiin,”jawabnya singkat
Sejak awal bertemu sampai hampir satu bulan ini, saya melihat tidak ada rasa lelah tampak di wajahnya. Selalu penuh semangat dengan satu harapan Eka bisa sembuh. Saya jadi merasa malu sendiri, begitu melihat dan merasakan cobaan yang dialami Eka dan ibunya ini. Dibandingkan mereka aku bukan apa-apanya.
Ketegaran dan keyakinanya menghadapi takdirnya sungguh luar biasa. Betapa kuatnya ibu muda ini. Di usia yang masih relatif muda sudah menghadapi peliknya hidup ini sendirian. Mereka bisa menghadapi hidup ini apa adanya. Tidak banyak mengeluh dan tetap yakin, bahwa Allah akan selalu menolongnya.
Entah sudah berapa, air mata yang tertumpah dalam mengarungi kehidupan. Beberapa waktu bersamanya betul-betul saya meyakini bahwa “Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuanya.” Saya banyak belajar dari mereka, tak pernah menasehati tapi saya merasakan dari setiap pandanangan mata, tindakan, dan ucapanya menunjukkan kematangan jiwanya melampaui usianya.
Dia lipat berkas-berkas masa lalu yang tidak akan pernah dia lihat lagi. Yang terpenting adalah melihat masa depan dengan harapan dan tekad yang kuat bersama buah hatinya. Kesedihan dan keresahan tak akan mampu mengembalikan yang sudah pergi.
Dan rupanya ini mengimbas kepadaku untuk terus berjuang menjalani takdir dengan lapang dada dan terus berusaha mencari jalan kesembuhan bagi putriku Rahma
“Membaca lembaran masa lalu hanya akan memupuskan harapan dan masa depan, Bun,” Ucapan yang terlontar selalu filosofis sekali. Benturan hidupnya menjadikanya wanita ini super women. Betapa wanita ini menyebarkan virus semangat kepadaku. Semangat untuk lebih yakin bahwa ada harapan besar di depan sana. Melihat kondisi Eka yang sedemikian berat saja mamanya tak patah arang. Suatu saat pasti Eka sembuh dan bisa menemani dia menjalani sisa hidupnya
“Betul Neng,” jawabku penuh kekaguman.
Tak terasa ternyata aku disini dipertemukan dengan orang-orang hebat, momen yang sungguh bisa mengurangi beban dihati. Kita bisa berbagi cerita suka dan duka dalam menjalani takdir ini.
Begitulah ketika tertimpa musibah, harus dicari sisi yang paling terang darinya. Ibarat kata, jadikan buah lemon itu menjadi minuman yang manis. Dengan hanya menambahkan gula sedikit saja. Ternyata musibah dan cobaan menjadikan seseorang memiliki rasa empaty kepada sesama, dan saling mendoakan. Dan, ternyata aku tidak sendiri.
Masih banyak orang-orang diluar sana yang diberi cobaan jauh lebih berat. Namun mereka tetap berdiri tegak melanjutkan kehidupan ini dengan penuh keyakinan. Walaupun melihat sisi lain dari sebuah cobaan itu bukanlah hal yang mudah, tetapi setidaknya pasti ada kebaikan, harapan, jalan keluar dan insya Allah pahala. Perjalanan hidup manusia tak ada yang tau, semua dalam gengamanya.
Hidup ini memang banyak pilihan, dan banyak warna. Namun mereka memilih untuk terus berjuang. Betapapun setiap usaha pasti ada harganya. Semangatku kembali menggelora, untuk memilih berjuang seperti mereka. Apalagi kami masih diberi keluarga yang lengkap. Bahkan keluarga besarku semua mendukung, seharusnya kami lebih kuat dari mereka. Dari sinilah mata hatiku terbuka. Sungguh betapa banyak orang yang mendapat cobaan. Setiap orang pasti ada yang pernah merintih, ada yang pernah menangis. Dan betapa banyak pula orang-orang yang sabar menghadapinya seperti mereka. Mungkin saja cobaan kami tidak seberapa dibandingkan dengan cobaan orang lain.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. AL-Baqarah: 216).




View Post
Anugerah Terindah
By : Endaryati

Wanita setengah baya itu duduk termenung, sambil menunggu gabah yang baru saja di jemurnya. Tampak  beberapa ayam mengacak acak gabah dan memakanya. Namun sengaja dibiarkanya,  agar ayam peliharaanya juga ikut merasakan hasil panenya. Begitu pikir Mak Darmi wanita setengah baya itu.

"Hey, bagaimana to, gabahnya dihabiskan ayam itu nanti." Suara Ibu Sepuh membuyarkan lamunanya. Mak Darmi  bergegas mengusir ayam-ayam itu, agak sempoyongan sambil menyangga perutnya yang kian membesar. Iya, Mak Darmi memang sedang hamil 9 bulan, walaupun usianya sudah hampir 45 tahun.

Sudah empat hari ini suaminya belum pulang. Entah, mungkin daganganya belum laku semuanya. Akhir-akhir ini hatinya selalu gelisah diliputi rasa khawatir yang berlebihan. Akankah dia bisa mempertahankan biduk rumah tangga bersama suaminya, yang telah memberinya sembilan jagoan, yang kini selalu menemani hari-harinya? Itulah pertanyaan yang selalu menghantuinya perasaanya saat ini. Peristiwa itu seakan terpampang di depan matanya, saat pertama kali akan berjodoh dengan suaminya.

***

"Darmi, jika kau ingin berjodoh dengan anakku, ada syarat yang harus kau penuhi. Sanggupkah kau memenuhinya?"

"Insya Allah Bu," jawab Mak Darmi

"Kamu harus punya anak yang banyak, karena calon suamimu ini anak tunggal. Dan harus  lengkap ada laki-laki dan perempuan," suara Ibu Sepuh tegas. Mak Darmi semakin ciut hatinya. Tetapi apapun akan dilakukanya, karena Lelaki gagah bermata teduh itu telah memikat hatinya. Banyak gadis yang ingin bersanding denganya. Selain gagah lelaki ini juga berasal dari keluarga yang terpandang karena ayahnya sebagai lurah di kampungnya.

Bersyukur akhirnya suaminya pulang. Masih dengan perasaan yang utuh, suami yang penyayang dan sangat bertanggung jawab

Bagaimana, anak-anak dan kamu sehat-sehat saja to?" tanya suami Mak Darmi.

"Iya, Kang alhamdulillah sehat," jawab Mak Darmi. Ingin rasanya menumpahkan seluruh kegamangan hatinya saat ini. Dia hampir lelah berharap.

"Kang, bagaimana kalau anak kita nanti laki-laki lagi?"

"Ya, tidak apa-apa to, nanti kita punya anak lagi,"

"Kang, aku capek sudah tak sanggup lagi punya anak. Anak kita sudah banyak dan umurku juga sudah tua, Kang," suara Mak Darmi lirih.

"Apakah kalau anak kita nanti lahir laki-laki  kamu akan menikah lagi?" tanya Mak Darmi sambil terisak.

"Sudahlah, tak usah berpikir yang macam-macam, kan belum terjadi. Kita berdoa saja semoga anak kita lahir perempuan," jawab suami Mak Darmi bijak. Lelaki inipun hatinya bergejolak. Satu sisi dia tidak mungkin menduakan istrinya yang sangat di cintainya, di sisi lain dia harus tunduk dan patuh pada orang tuanya.

***
Suara jangkrik, menambah suasana malam itu semakin hening. Mereka sudah pasrah total atas apa yang akan ditakdirkan. Mak Darmi sudah tak memperdulikan lagi rasa sakit saat melahirkan, toh ini sudah yang ke sepuluh kalinya harus berjuang mempertaruhkan jiwanya.Yang dia pikirkan hanya satu, anaknya segera lahir sesuai harapanya.

"Mak, anak kita sudah lahir." Lelaki itu bergegas memeluk Mak Darmi dengan rona bahagia.

Laki-laki atau perempuan, Kang?"

"Alhamdulillah perempuan, Mak," jawab suaminya sambil terus memeluknya.

"Terima kasih ya, Kang. Akhirnya Allah mengabulkan doa kita."

"Subhanallah, Inilah kado terindah dari Allah, Mak. Dianugerahi bidadari cantik yang akan selalu menyatukan kita,"

"Aamiin," jawab Mak Darmi dengan linangan air mata bahagia

View Post
Tema :
Andai Aku Bisa Mengulang Waktu
(Fiksi)

Kasih Tak Berujung
By : Endarryati

"Le, jangan lupa tugasmu hari ini, ya!" Suara tegas Pak Harno

"Iya, Pak," jawab Hasan dengan semangat.
Hasan adalah anak Pak Harno yang no 5 dari sembilan bersaudara. Remaja kerempeng usia  belasan tahun  ini , dalam keseharianya diberi tugas mengambil air ke tetangga sebelah sebelum berangkat sekolah. Didikan orang tuanya yang agak keras membuat Hasan menjadi pribadi yang mandiri dan tidak pantang menyerah.

"Has, dalam ujian kali ini kamu harus persiapkan diri sebaik-baiknya, agar besok kamu bisa masuk ke perguruan tinggi negeri, ya!" ujar Pak Harno penuh harap.

"Inggih, Pak." jawab Has penuh takzim.

Has sangat menghormati kedua orang tuanya. Dia sangat mengerti harapan bapaknya sangat tertumpu padanya, bahwa suatu saat dia harus bisa mengangkat derajat keluarganya.

"Harapan Bapak, kamu bisa masuk ke fakultas kedokteran, ya!" Hasan hanya mengangguk hatinya gamang. Apakah orang tuanya mampu membiayai? Karena kuliah di kedokteran tidaklah murah, padahal bapaknya hanyalah seorang guru.

Dan, Has hanya  lolos pada pilihan kedua melalui  seleksi jalur  bebas tes di fakultas sosial politik. Has mengerti Bapaknya agak kecewa namun bisa menerima. Tidak pantang menyerah pada tahun kedua dia mencoba lagi ikut tes, dan kali ini dia berhasil masuk ke fakultas kedokteran.

***
Kuliah di Fakultas ini bagi dia tidaklah mudah, disamping biayanya mahal dia terpaksa harus kos. Hari-hari di jalaninya dengan penuh keprihatinan. Berbagai  profesi dijalani agar bisa bertahan. Menjadi tukang kebun pun pernah dijalaninya.

Sudah dua jam pemuda ini berdiri di depan pintu Rektorat kampusnya. Hari ini Has ingin menemui Rektornya langsung, untuk sedikit  minta tenggang waktu tentang pembayaran uang kuliahnya. Sudah hampir putus asa, cara apalagi yg harus ditempuh supaya bisa bertahan di kampus ini.

"Tidak bisa Has, kan kamu sudah dapat beasiswa dan juga keringanan dari kampus." Suara Rektor itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Lagi-lagi pemuda tangguh ini harus gigit jari. Dengan langkah gontai Hasan melangkah pergi sambil memutar otak mencari jalan keluar. Terbayang wajah orang tuanya yang berharap banyak kepada dirinya.

"Yup, ini yang harus saya lakukan," gumamnya dalam hati. Iya, akhirnya Hasan menempuh jalan ini, mengambil cuti lalu mencoba mencari keberuntungan di tempat lain.

***

"Le, pulanglah sebentar, Bapak kangen," suara parau Bapaknya terdengar dari ujung telpon. Has terpaku, tak keluar sepatah katapun dari mulutnnya.Tubuhnya lunglai tak berdaya, air matanya menganak sungai di pipinya.Tak biasanya suara bapaknya seperti ini. Perasaanya tak menentu.  Pemuda ini sekarang agak kurusan, sejak mengikuti pendidikan militer  8 bulan yang lalu. Sejak dia tak bisa bertemu keluaganya, karena harus di karantina.

"Le, bagaimana keadaanmu?" tanya Pak Harno lirih. Tubuh lemahnya tergolek di pangkuan anak kebanggaanya.

"Baik kok, Pak," jawab Has sambil terus memeluk bapaknya. Dalam hatinya berjanji setelah pendidikanya usai dia akan melanjutkan lagi kuliahnya, yang sempat dia tinggalkan.

"Maafkan, Bapak ya."
Pak Harno sudah lemah sekali kondisinya. Pertemuan itu sungguh mengharu biru. Sudah hampir satu tahun bapak dan anak ini tak saling bertemu. Dan, ini adalah pertemuan terakhirnya. Di pelukan Has Pak Harno pergi untuk selamanya.

**
"Mas, makanlah dulu sebelum berangkat," Suara istrinya membuyarkan lamunanya

"Iya, Dik terima kasih," jawab Has sambil terus membayangkan wajah bapaknya. Bapaknyalah yang terus memberikan dorongan dan semangat, agar tidak lelah mimpinya. Dia selalu berandai-andai, jika saja waktu bisa diulang. Dia ingin persembahkan semua pencapainya sekarang ini untuk bapaknya. Menjadi seorang dokter sekaligus abdi negara  yang bisa mengangkat derajat kehidupan keluarganya.

"Pak, inilah anakmu sudah aku wujudkan harapan dan cita-citamu. Semoga kau bahagia disana," gumam Has lirih. Ada tetes air bening di sudut matanya.

View Post

Tema : Penyesalan (fiksi)

Sepenggal kisah
Oleh : Endaryati.

Perempuan tua berwajah legam itu masih duduk di depan  tungku, kepulan asap menyamarkan kerut di wajahnya. Entah kenapa,  pagi ini perapianya tidak bisa cepat menyala seperti biasanya.

"Nek, sarapanya sudah matang?" tanya Sekar.

"Sebentar ya, Nak kamu mandi dulu sana ge!" Jawab neneknya, sambil  membuat bumbu nasi goreng. Sudah satu minggu ini Nenek Sekar agak tidak enak badan, hatinya sering gelisah memikirkan cucu satu-satunya ini. Baru saja Sekar keluar dari Rumah Sakit, setelah satu minggu di rawat.

"Ayo, Nduk sarapan dulu waktunya sudah siang nanti kamu terlambat lagi!"

"Iya, Nek." jawab Sekar sambil membetulkan seragam sekolahnya. Sekar menyantap sarapan pagi  dengan lahap, walaupun hanya nasi goreng tanpa krupuk, apalagi telur. Bagi mereka sudah bisa makan saja sudah bersyukur, karena memang kondisinya sangat kekurangan. Sekar adalah cucu satu-satunya Mak Darmi yang menemaninya sejak kecil.

"Sekar berangkat dulu ya, Nek." Sekar berpamitan sambil mencium Neneknya. Sekar berlari kecil sambil bernyanyi-nyanyi riang. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, siapa sangka Sekar gadis periang ini nekat melakukan sesuatu di luar nalar.

Mak Darmi mengantarkan cucunya di depan pintu, hingga lenyap dari pandanganya. Hatinya pilu, terkenang peristiwa satu minggu yang lalu, saat Sekar nekat ingin mengakhiri hidupnya dengan cara minum racun. Sekar tidak punya maksud apa-apa dia hanya ingin bertemu Ibunya, karena neneknya selalu bercerita Ibunya sudah meninggal.
*

Bermula saat teman-teman sekelasnya  datang ke rumahnyal, karena sudah tiga hari Sekar tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Teman-temant Sekar mengira dia sakit, padahal Sekar tidak sekolah karena tak punya uang saku. Bagi Sekar itu tidak masalah sudah terbiasa tidak punya uang, bahkan makanpun tidak mesti tiga kali sehari.

Ada kerinduan yang sangat mendalam di lubuk hati Sekar kepada kedua orang tuanya. Apalagi saat teman-temanya menanyakan ayah dan ibunya. Seperti di bangkitkan, rasa itu kembali hadir menghantui hari-harinya. Sejak lahir Sekar memang belum bisa mengenal ayah ibunya, karena 2 bulan sejak kelahiranya kedua orang tuanya terusir dari rumah neneknya.

*

"Sudahlah, Nduk kamu pilih saja tetap tinggal di rumah ini tanpa suamimu, atau bersama suamimu pergi dari rumah ini!" Ujar Mak Darmi tegas kepada Sumi anak perempuan satu-satunya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut wanita muda ini, dia hanya diam. Sebuah pilihan  yang teramat berat bagi dirinya.

"Maafkan Sumi ya, Mak. Hari ini aku mohon pamit, terpaksa harus meninggalkan Mak sendirian demi sebuah kebaikan. Titip Sekar ya, Mak." kata Sumi dengan tangis yang tertahan.Sejak awal menikah Mak Darmi memang tidak suka terhadap perangai menantunya yang kasar. Bahkan rumah yang ditempati sekarang ini pernah akan di bakar.

Keinginan Mak Darmi sebenarnya adalah agar Sumi bercerai saja. Tetapi, bagi Sumi tidak semudah yang Mak Darmi bayangkan. Karena dua nyawa taruhanya Sekar atau dirinya. Dan Sumi memilih pergi, dengan harapan suatu saat masih bisa bertemu Sekar dan Emaknya.

9 tahun sudah berlalu, keinginan terbesar Mak Darmi bisa bertemu kembali dengan anak semata wayangnya, Sumi. Dan, bisa memenuhi keinginan cucunya bertemu dengan kedua orang tuanya.

Seandainya dulu Mak Darmi bisa bersabar sedikit saja, mungkin peristiwa yang hampir merenggut nyawa cucunya tak terjadi. Namun penyesalan belum tentu bisa mengembalikan kebahagianya. Mak Darmi hanya bisa berdoa semoga masih ada kesempatan mempertemukan Sekar dan Ibunya.

View Post

Tema : Jodoh Masa Depan

Sandung
Oleh : Endaryati

Janji memang belum terucap, namun hatinya sudah terpagut dalam satu jiwa. Sandung termenung di halte itu, entah kemana lagi harus mencari belahan jiwanya. Sejak selesai wisuda Sandung telah meninggalkan kota itu, pulang ke rumah orang tuanya di kampung. Kedatangan sandung kembali ke kota ini adalah mencari Hasca yang selama ini menjadi teman dekatnya.

"Taksi, Mbak?" suara sopir taksi mengejutkan lamunanya.

"Tidak, Pak terima kasih." jawab sandung singkat, sambil menggeser tubuhnya bergerak beberapa langkah. Beberapa penumpang berjubel di halte itu, menunggu bis yang akan membawanya pergi sesuai kota tujuan. Sandung masih berharap pemuda yang ditunggunya muncul dari balik gedung kampus di seberang halte itu. Tapi seseorang yang ditunggu tak kunjung datang.

"Sudah mantap kamu mau pulang ke kampung lagi ?" tanya Pak Gatot, induk semang sandung.

"Iya, Pak. Saya sudah berusaha mecari mas Hasca tapi tidak ketemu." jawab Sandung berusaha menutupi kepedihan hatinya. Rencananya Sandung ingin memperkenalkan Hasca kepada kedua orang tuanya, dan berharap Hasca sudi  melamarnya. Namun harapanya kali ini belum terwujud.

"Saya pamit ya, Pak. Mohon do'anya semoga saat saya datang kembali kesini saya sudah bersama Mas Hasca." suara Sandung lirih. Ada air bening menetes di sudut matanya. Hati gadis ini perih dan pilu. Bingung harus kemana lagi mencari pujaan hatinya. Apa yang harus disampaikan kepada Ayahnya, karena Sandung tak bisa membawa Hasca menemui orang tuanya. Berbagai pertanyaan menghantui pikiranya. Kenapa Hasca tiba-tiba menghilang? Kenapa Hasca tak mau berterus terang?

**

"Jadi kapan Orang tua Hasca akan darang ke rumah, Nduk?" tanya Pak Marta ayah Sandung tegas.

"Belum tau Pak, mungkin bulan depan."  jawab Sandung bimbang. Gadis ini bingung harus bagaimana.

"Jangan lama-lama, Bapak tak mau kamu jadi bahan olok-olokan para tetangga."

"Inggih, Pak mohon doanya." jawab Sandung sambil berlalu. Hati gadis ini semakin galau mengingat Hasca, yang tiba-tiba menghilang. Bagaimana nanti kalau sampai dua bulan Hasca tidak datang ke rumah. Alasan apa lagi yang harus disampaikan kepada Ayahnya.

"Ya, Allah berikan kekuatan kepada hambamu ini." doa Sandung setiap waktu.
Gadis berhidung mancung ini tetap optimis terhadap janji Hasca. Sandung tau betul karakter  pemuda pendiam itu. Dia sangat setia dan bertanggung jawab.

"Nduk, bagaimana rencanamu selanjutnya, ini kan sudah hampir tiga bulan."

"Iya, Pak." jawab Sandung.

"Begini, menurut Bapak, sebaiknya kamu berpikir ulang. Apakah tetap harus menunggu pemuda itu, sedangkan usiamu sudah semakin matang." Sandung hanya diam mendengarkan penjelasan ayahnya. Dia belum bisa melupakan pemuda itu.

"Kemarin Pak Camat datang lagi untuk meminta kamu, Bapak bingung harus menjawab apa." Suara Pak Marta dengan kemarahan yang agak tertahan.
Hati Sandung semakin tak menentu, antara sedih dan bingung. Sedih karena pemuda yang selama ini menjadi tumpuan harapanya menghilang begitu saja. Tak pernah memberi kabar, apakah dia baik-baik saja? Sementara Sandung juga sangat mengkhawatirkan kondisi Hasca. Tidak biasanya Hasca misterius seperti ini. Gaway pemuda itu juga tak bisa dihubungi lagi.

"Maafkan, Sandung belum bisa, Pak." tangis Sandung pecah di pangkuan Ayahnya. Gadis ini tak kuasa menahan kepedihanya. Satu sisi Sandung tak bisa membohongi hatinya, di sisi lain dia ingin berbakti kepada orang tuanya. Sandung masih berharap bisa menemukan Hasca kembali, entah kapan.

"Hasca, datanglah aku menunggumu." Ucap Sandung dalam tangis lirihnya.



* Foto : Koleksi pribadi
View Post


Belajar Melepaskan

Kadang-kadang melepaskan adalah pilihan yang terbaik. ketika sesuatu yang kita miliki tak lagi bisa digenggam . Ketika sesuatu yang kita harapkan tak mungkin teraih. mungkin ini memang bukan untuk kita, dan kesempatan kita ada ditempat lain.
Belajar mengiklaskan memang tidak mudah, tetapi harus selalu kita coba. lepaskan marah, lepaskan benci dan dendam, dihati kita yang damai.

Kadang-kadang diam adalah pilihan terbaik. Ketika kita tak mampu lagi berbicara, ketika suara hati kita tak lagi bermakna. Maka ujung dari kegelisahan adalah sabar dan tawakal.
Semangat menyambut hati yang baru! Lepaskan segala kegundahan jiwamu. Abaikan hati yang terlanjur luka, dan tersenyumlah!


Skj, 260318

View Post

    Pilu

Berhenti atau menepi
Tak ada lagi arah menujumu
Penat menyusup ruang jiwaku
Hingga luruh seluruh asa

Jangan kau paksa genggamanmu
Selagi tak mampu  terengkuh
Lepaskanlah jangan kau tahan
Biarkanlah berlalu dari kehidupanmu
Mungkin itu jalan bahagianya.

Mengertilah
Itu hanya sebuah isyarat  darinya
Tak mampu dia ucapkan
Tak tega melihatmu nelangsa



Skj, 250318


View Post