Sepenggal Kisah Bersama
Eka
(Buku solo, Bab 4 : Merangkul Takdir)
Suatu hal yang paling tidak saya sukai hari itu harus aku
hadapi. Yaitu berpisah dengan anak-anakku yang masih kecil-kecil. Mau tidak mau
suka atau tidak harus aku hadapi. Suasana batinku sangat tersiksa. Sudah hampir
satu pekan setiap malam tidak bisa memejamkan mata. Khawatir dan sedih selalu
menghantui perasaan hatiku.
“Ya Allah, Engkaulah sebaik-baik penolong, hilangkan
keresahan hati ini.” Kukhususkan doaku dalam sepekan ini untuk menghilangkan
keresahan dan keraguan hati. Yah, belum pernah hatiku resah seperti ini. Tak
tega rasa hati ini meninggalkan anak-anak, dalam waktu yang mungkin agak lama.
Berbagai hal harus kami pertimbangkan dan kami persiapkan.
Harus kami titipkan kepada siapa dua anak kami ketika harus pergi, dan
sebagainya.
Setelah melalui pertimbangan akhirnya kami sepakat untuk
memboyong ibuku dan mertua untuk bisa menemani anak-anak ketika kami berdua
harus pergi. Dan alhamdulillah kedua orang tua kami dengan senang memenuhi
permohonan kami. Satu hal lagi yang saya syukuri keluarga besar kami mendukung
seluruh usaha kami.
Berbekal rujukan dari rumah Sakit Kariadi Semarang, Bertiga
kami berangkat kejakarta (RSCM) untuk melanjutkan pengobatan yang agak
tertunda, karena terkendala masalah biaya yang harus dikumpulkan terlebih
dahulu. Alhamdulillah hal-hal yang semula kami khawatirkan tak terjadi sama
sekali. Anak-anak melepas kami dengan rasa bahagia. Mereka mengerti bahwa
kepergian kami adalah untuk pengobatan adiknya.
“Terima kasih ya Allah, Engkau telah berkenan mengabulkan
doa kami.”
Berbagai hal kami jumpai di sini. Pasien anak-anak dengan
kasus-kasus yang berat dari segala penjuru tanah air ada di sini. Subhanallah,
sungguh suasana yang sangat mengharu biru bertemu anak-anak yang kuat dan orang
tua luar biasa tegar.
Kami bertemu hampir tiap hari walaupun dengan anak-anak
yang berbeda-beda tetapi rata-rata kasusnya sama yaitu adanya kelainan bawaan
sejak lahir. Kasusnya memang berat, karena rumah sakit daerah tidak bisa
menangani maka harus dibawa ke RSCM yang notabene adalah rumah sakit rujukan
nasional. Mulai dari Aceh, Kalimantan, Bali, bahkan Papua ada disini. ada yang
sudah tiga bulan, enam bulan berada di Rumah Sakit ini untuk menjalani terapi
dan pengobatan.
Malaikat-malaikat kecil ini sangat luar biasa hebat dan
kuatnya apalagi orang tuanya. Diabaikan seluruh kepentingan di luar kesembuhan
anaknya, apapun dipertaruhkan.Tenaga pikiran dan seluruh hartanya nyaris tak tersisa. Bertemu mereka
seperti keluarga. Merasa tidak sendiri menghadapi cobaan ini. Senasib dan sepenanggungan itu
membuat semangat berjuang lebih kuat.
Ada satu pasien anak yang jadwalnya bersamaan dengan
putriku. Seorang anak laki-laki sebaya Rahma, umurnya sekitar 3 tahun.
“Putra Neng sakit
apa?” tanyaku singkat.
“Anakku sakitnya ... bermacam-macam, Bunda,” jawab ibu muda
ini kelihatan pasrah. Ada gurat kelelahan diwajahnya.
“Oh ya, namanya siapa putranya?”
“Namanya Eka, dia putraku saya satu-satunya, Bun,” jawabnya
dengan mata berkaca-kaca.
Beberapa saat kami sama-sama terdiam sejenak. Rahma anakku
asyik bermain ayunan sambil minum susu. Aku lihat Eka sedang rewel di pangkuan
mamanya. Sambil mengawasi Rahma saya berusaha membantu untuk menenangkan Eka.
Perkembangan fisik Eka memang agak berbeda dibanding anak
seusia dia. Sejak kulihat pertama kali anak ini hanya digendong dan ditidurkan
saja. Kulitnya putih pucat dan selalu
dikenakan kacamata tebal.
Rupanya dia menderita kelainan bawaan sejak lahir, seperti
halnya Rahma. Hanya kasusnya yang berbeda.
Menurut cerita Mama Eka, ketika hamil dia terkena
toksoplasma. Toksoplasma ini gejalanya seperti flu ringan biasa, namun lebih
diutamakan adalah meningkatkan kewaspadaan pada ibu hamil atau yang sedang
menjalani program hamil.
Berdasarkan
hasil penelitian 40% wanita hamil yang terinfeksi toksoplasma di awal
kehamilanya maka 15% bayi yang dilahirkan akan mengalami abortus (keguguran)
atau lahir prematur. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 90% bayi yang terinfeksi dapat lahir normal
meskipun pada pertumbuhanya mereka akan mengalami gangguan pada saraf mata,
pendengaran, kelainan sistemik seperti pada hati, limpa, pucat, kering dan
sebagainya. Toksoplasma ini dapat menjangkit kepada siapapun, tidak terbatas
pada jenis kelaminya. Dan berbahaya pada ibu hamil karena bisa mempengaruhi
kesehatan janin seperti keteranga tersebut diatas. (http://www.pesanlab.com/blog).
|
Hal ini juga tampak pada malaikat kecil ini. Di usianya yang sudah 3 th tahun perkembangan
fisiknya tidak wajar seperti anak-anak sebaya lainnya.
“Ini kacamata memang permanen dipakai terus ya, Neng?”
tanyaku agak ragu, takut menyinggung perasanya.
“Iya, Bun. Eka memang tidak bisa melihat sejak lahir bahkan
sampai sekarang sudah operasi mata 4 kali,” jawab mama Eka dengan lebih santai.
Tampak seperti sudah biasa menghadapinya.
“Jadi sekarang sudah bisa melihat Neng?”
“Belum, kelihatanya baru bisa membedakan cahaya antara gelap
dan terang.”saut Mama Eka.
Tetapi dari gestur tubuhnya saya bisa melihat Eka bisa
merasakan keberadaan mamanya. Kadang-kadang dia terlihat tersenyum ketika
mamanya mengiburnya dengan kata-kata sayang. Apalagi kalau mamanya mulai
bercerita memberikan kata-kata semangat kepadanya. Tangan dan kakinya mulai
bergerak-gerak seperti ada energi yang mendorongnya. Tampak ada kegembiraan
yang muncul dari dalam hatinya.
“Sayang, hari ini kita belajar lagi ya kamu harus semangat
biar cepat pinter,” ucap Mama Eka sambil mengganti pampers Eka yang sudah mulai
penuh.
Itulah kalimat mama Eka yang kudengar setiap pagi, ketika
mulai antri untuk terapi di ruang tumbuh kembang anak. Kata-kata itu selalu
menyihirku. Kalimat semangat yang menggetarkan ‘arsy lalu menembus ke dalam
batin malaikat kecil ini.
Saya yakin itu meskipun Eka tak mampu mendengar. Tetapi
mata batin malaikat kecil ini mampu menangkap dengan bahasa kalbunya. Hubungan
batin dua manusia antara ibu dan anak memang tak bersekat.
Ikatan batin yang luar biasa ini tak terbantahkan oleh
siapapun. Bahkan seorang anak bisa membedakan mana ibunya dan yang bukan cukup
melalui baunya saja. Bau khas ibu yang selalu menemaninya sejak lahir. Hal ini
juga tampak pada Eka. Wajah tampanya nampak berseri seri ketika mamanya ada
disampingnya.Walaupun tak ada kata-kata yang dia bisa dengar.
Hari ini Eka dapat giliran terapi siang karena dapat
antrian belakang.
“Saya berangkat dari kontrakan kesiangan, Bun. Maklum
cucian tetangga banyak,” suara Mama Eka masih tampak terengah-engah.
“Capek sekali pasti kan, ya,” jawabku menimpali.
“Pasti Bun, tapi aku senang artinya rezeki Eka hari ini
lumayan bisa untuk beli pampers.” Jawab Mama Eka riang. Kata-katanya meluncur
tampak sangat bahagia sekali. Subhanallah, ingin rasanya kupeluk dia.
Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulut ini. Terbuat
dari apakah hatimu, Neng. Allah telah memberimu hati emas yang bersinar dan
berhati baja yang tak lekang ditimpa peliknya kehidupan. Akibat kelelahan Mama
Eka tertidur pulas di ruang tunggu. Namun
Eka tetap dalam pangkuannya.
Rasa tak tega memenuhi ruang hatiku, kuambil Eka perlahan
agar ibunya bisa tidur sejenak. Bersama putriku Rahma kuajak Eka bermain,
bercanda ria dan ternyata dia bisa merespon. Baru kali ini aku bisa memandang
dari dekat wajahnya.
Tampan sekali anak ini walaupun tertutup rapat oleh kaca
mata tebalnya. Iya, anak ini tampan sekali mukanya tirus, hidungnya mancung dan
berkulit bersih. Rambutnya hitam legam, tebal sekali. Seperti wajah Mamanya,
cantik!
Konon menurut cerita mamanya kenapa dia selalu dipakaikan
kacamata, karena matanya sangat rentan terhadap segala sesuatu yang berasal
dari luar, misalnya sinar ataupun cahaya. Bola matanya selalu bergerak, tak
bisa berhenti. Tak tega melihatnya kalau kaca matanya di lepas. Kusapu lembut
pipi malaikat kecil ini, kusut sekali seperti kurang gizi, kulitnya keriput.
Pupil matanya agak menonjol keluar, nafasnya agak berat dan
sesekali agak sesak nafas. Tubuh mungilnya seperti menahan rasa sakit yang
dalam namun tak mampu dia ucapkan. Rasa tak nyaman membuatnya sering rewel,
terkadang aku membantu menenangkanya.
“Tak tau kenapa anak ini sering kencing, Bun. Bahkan
anggaran terbesar itu untuk beli pampers daripada beli susu,” kata Mama eka
sambil mengganti pampers Eka karena sudah penuh.
“Eka juga lumpuh, Bunda tidak bisa bergerak tubuhnya
lemas,” jawab Mama Eka menatapku tanpa ekspresi.
“Subhanallah, kuat sekali kamu Nak,” mataku mulai
berkaca-kaca, mendengar kisahnya.
“Menangis saja kadang-kadang Eka sudah tak bisa bersuara,
Bun lemas tak punya tenaga,” keluh Mama Eka sambil megusap air liur Eka yang
terus menerus keluar. Fungsi saraf anak ini rupanya juga terganggu. Terlihat dari gerak
motoriknya yang tak bisa terkontrol dengan baik.
Seringnya berinteraksi membuat kami sudah seperti keluarga,
berbagi cerita dan saling menguatkan. Mama Eka sering menceritakan kisah hidup
keluarga kecilnya, yang penuh warna.
Dulu, kehidupanya diawali dengan niat yang kuat untuk mewujudkan
keluarga yang bahagia. Walaupun hidup di kota besar seperti Jakarta tidaklah
mudah. Dengan tekad yang kuat mereka mulai menapaki kehidupan dengan harapan
bisa melaluinya dengan selamat. Satu tahun dari usia perkawinanya lahirlah
putra pertamanya.
Sejak awal, Mama Eka dan suaminya bekerja di sebuah pabrik.
Mereka dibantu ibunya untuk merawat Eka ketika ditinggal bekerja.Walaupun sejak
bayi Eka selalu keluar masuk Rumah Sakit, namun pasangan ini selalu kompak
bergantian menemani putranya terapi di Rumah sakit.
Tetapi kondisi ini tidak terlalu lama berlangsung.
Menjelang Eka berusia satu tahun, goncangan mulai terasa dalam kehidupan
keluarganya. Suaminya jarang sekali pulang ke rumah. Uang belanja mulai tidak
diberi. Bingung, sedih campur aduk jadi satu. Hingga akhirnya ayah Eka
betul-betul tidak kembali, meninggalkan dia dan Eka yang harus terus berobat.
“Jadi sudah berapa tahun ayahnya Eka tidak kembali ke
rumah, Neng?”
“Sejak Eka berumur satu tahun, Bun berarti sekitar 2 tahun
yang lalu,” jawab Mama Eka pasrah. Sudah tak ada lagi kemarahan tampak di
wajahnya.
“Sudah dicari, kemana kira-kira ayahnya Eka pergi?”
selidikku
“Sudah, Bun termasuk ketempat saudara-saudaranya pun nggak
ada yang tau,” jawabnya dengan suara yang agak meninggi. Aku tak berani lagi
bertanya, meskipun masih banyak pertanyaan yang ingin kusampaikan.
“Dia juga sudah pindah kerja, dari tempat yang dulu. Air
mataku sudah habis Bun, percuma saya ratapi ini memang takdir yang harus saya
hadapi,” suaranya agak ketus. Ada kemarahan yang tertahan di sana.
“Demi Eka juga saya harus keluar dari pekerjaan. Supaya
bisa merawat dan menemani Eka terapi. Karena neneknya tenaganya sudah tidak
kuat lagi,” celotehnya tanpa jeda. Aku semakin kagum akan ketegaran
hatinya.
“Maaf Neng, lalu dari mana biaya hidup dan biaya terapi
untuk Eka,” tanyaku tak mengerti.
“Ya dari mana saja, Bun kadang saya bekerja serabutan di
rumah mencuci dan setrika. Kadang disuruh tetangga untuk membelanjakan. Apa
saja deh, yang penting tidak meninggalkan Eka terlalu lama. Kalau untuk terapinya
gratis alhamdulillah.”
“Alhamdulillah, semoga Neng sehat terus ya!”
“Aamiin,”jawabnya singkat
Sejak awal bertemu sampai hampir satu bulan ini, saya
melihat tidak ada rasa lelah tampak di wajahnya. Selalu penuh semangat dengan
satu harapan Eka bisa sembuh. Saya jadi merasa malu sendiri, begitu melihat dan
merasakan cobaan yang dialami Eka dan ibunya ini. Dibandingkan mereka aku bukan
apa-apanya.
Ketegaran dan keyakinanya menghadapi takdirnya sungguh luar
biasa. Betapa kuatnya ibu muda ini. Di usia yang masih relatif muda sudah
menghadapi peliknya hidup ini sendirian. Mereka bisa menghadapi hidup ini apa
adanya. Tidak banyak mengeluh dan tetap yakin, bahwa Allah akan selalu
menolongnya.
Entah sudah berapa, air mata yang tertumpah dalam
mengarungi kehidupan. Beberapa waktu bersamanya betul-betul saya meyakini bahwa
“Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuanya.” Saya banyak belajar dari
mereka, tak pernah menasehati tapi saya merasakan dari setiap pandanangan mata,
tindakan, dan ucapanya menunjukkan kematangan jiwanya melampaui usianya.
Dia lipat berkas-berkas masa lalu yang tidak akan pernah
dia lihat lagi. Yang terpenting adalah melihat masa depan dengan harapan dan
tekad yang kuat bersama buah hatinya. Kesedihan dan keresahan tak akan mampu
mengembalikan yang sudah pergi.
Dan rupanya ini mengimbas kepadaku untuk terus berjuang
menjalani takdir dengan lapang dada dan terus berusaha mencari jalan kesembuhan
bagi putriku Rahma
“Membaca lembaran masa lalu hanya akan memupuskan harapan
dan masa depan, Bun,” Ucapan yang terlontar selalu filosofis sekali. Benturan
hidupnya menjadikanya wanita ini super
women. Betapa wanita ini menyebarkan virus semangat kepadaku. Semangat
untuk lebih yakin bahwa ada harapan besar di depan sana. Melihat kondisi Eka
yang sedemikian berat saja mamanya tak patah arang. Suatu saat pasti Eka sembuh
dan bisa menemani dia menjalani sisa hidupnya
“Betul Neng,” jawabku penuh kekaguman.
Tak terasa ternyata aku disini dipertemukan dengan
orang-orang hebat, momen yang sungguh bisa mengurangi beban dihati. Kita bisa
berbagi cerita suka dan duka dalam menjalani takdir ini.
Begitulah ketika tertimpa musibah, harus dicari sisi yang
paling terang darinya. Ibarat kata, jadikan buah lemon itu menjadi minuman yang
manis. Dengan hanya menambahkan gula sedikit saja. Ternyata musibah dan cobaan
menjadikan seseorang memiliki rasa empaty kepada sesama, dan saling mendoakan.
Dan, ternyata aku tidak sendiri.
Masih banyak orang-orang diluar sana yang diberi cobaan
jauh lebih berat. Namun mereka tetap berdiri tegak melanjutkan kehidupan ini
dengan penuh keyakinan. Walaupun melihat sisi lain dari sebuah cobaan itu
bukanlah hal yang mudah, tetapi setidaknya pasti ada kebaikan, harapan, jalan
keluar dan insya Allah pahala. Perjalanan hidup manusia tak ada yang tau, semua
dalam gengamanya.
Hidup ini memang banyak pilihan, dan banyak warna. Namun
mereka memilih untuk terus berjuang. Betapapun setiap usaha pasti ada harganya.
Semangatku kembali menggelora, untuk memilih berjuang seperti mereka. Apalagi
kami masih diberi keluarga yang lengkap. Bahkan keluarga besarku semua
mendukung, seharusnya kami lebih kuat dari mereka. Dari sinilah mata hatiku
terbuka. Sungguh betapa banyak orang yang mendapat cobaan. Setiap orang pasti
ada yang pernah merintih, ada yang pernah menangis. Dan betapa banyak pula
orang-orang yang sabar menghadapinya seperti mereka. Mungkin saja cobaan kami tidak
seberapa dibandingkan dengan cobaan orang lain.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu.” (QS. AL-Baqarah: 216).
|