Anugerah Terindah
By : Endaryati

Wanita setengah baya itu duduk termenung, sambil menunggu gabah yang baru saja di jemurnya. Tampak  beberapa ayam mengacak acak gabah dan memakanya. Namun sengaja dibiarkanya,  agar ayam peliharaanya juga ikut merasakan hasil panenya. Begitu pikir Mak Darmi wanita setengah baya itu.

"Hey, bagaimana to, gabahnya dihabiskan ayam itu nanti." Suara Ibu Sepuh membuyarkan lamunanya. Mak Darmi  bergegas mengusir ayam-ayam itu, agak sempoyongan sambil menyangga perutnya yang kian membesar. Iya, Mak Darmi memang sedang hamil 9 bulan, walaupun usianya sudah hampir 45 tahun.

Sudah empat hari ini suaminya belum pulang. Entah, mungkin daganganya belum laku semuanya. Akhir-akhir ini hatinya selalu gelisah diliputi rasa khawatir yang berlebihan. Akankah dia bisa mempertahankan biduk rumah tangga bersama suaminya, yang telah memberinya sembilan jagoan, yang kini selalu menemani hari-harinya? Itulah pertanyaan yang selalu menghantuinya perasaanya saat ini. Peristiwa itu seakan terpampang di depan matanya, saat pertama kali akan berjodoh dengan suaminya.

***

"Darmi, jika kau ingin berjodoh dengan anakku, ada syarat yang harus kau penuhi. Sanggupkah kau memenuhinya?"

"Insya Allah Bu," jawab Mak Darmi

"Kamu harus punya anak yang banyak, karena calon suamimu ini anak tunggal. Dan harus  lengkap ada laki-laki dan perempuan," suara Ibu Sepuh tegas. Mak Darmi semakin ciut hatinya. Tetapi apapun akan dilakukanya, karena Lelaki gagah bermata teduh itu telah memikat hatinya. Banyak gadis yang ingin bersanding denganya. Selain gagah lelaki ini juga berasal dari keluarga yang terpandang karena ayahnya sebagai lurah di kampungnya.

Bersyukur akhirnya suaminya pulang. Masih dengan perasaan yang utuh, suami yang penyayang dan sangat bertanggung jawab

Bagaimana, anak-anak dan kamu sehat-sehat saja to?" tanya suami Mak Darmi.

"Iya, Kang alhamdulillah sehat," jawab Mak Darmi. Ingin rasanya menumpahkan seluruh kegamangan hatinya saat ini. Dia hampir lelah berharap.

"Kang, bagaimana kalau anak kita nanti laki-laki lagi?"

"Ya, tidak apa-apa to, nanti kita punya anak lagi,"

"Kang, aku capek sudah tak sanggup lagi punya anak. Anak kita sudah banyak dan umurku juga sudah tua, Kang," suara Mak Darmi lirih.

"Apakah kalau anak kita nanti lahir laki-laki  kamu akan menikah lagi?" tanya Mak Darmi sambil terisak.

"Sudahlah, tak usah berpikir yang macam-macam, kan belum terjadi. Kita berdoa saja semoga anak kita lahir perempuan," jawab suami Mak Darmi bijak. Lelaki inipun hatinya bergejolak. Satu sisi dia tidak mungkin menduakan istrinya yang sangat di cintainya, di sisi lain dia harus tunduk dan patuh pada orang tuanya.

***
Suara jangkrik, menambah suasana malam itu semakin hening. Mereka sudah pasrah total atas apa yang akan ditakdirkan. Mak Darmi sudah tak memperdulikan lagi rasa sakit saat melahirkan, toh ini sudah yang ke sepuluh kalinya harus berjuang mempertaruhkan jiwanya.Yang dia pikirkan hanya satu, anaknya segera lahir sesuai harapanya.

"Mak, anak kita sudah lahir." Lelaki itu bergegas memeluk Mak Darmi dengan rona bahagia.

Laki-laki atau perempuan, Kang?"

"Alhamdulillah perempuan, Mak," jawab suaminya sambil terus memeluknya.

"Terima kasih ya, Kang. Akhirnya Allah mengabulkan doa kita."

"Subhanallah, Inilah kado terindah dari Allah, Mak. Dianugerahi bidadari cantik yang akan selalu menyatukan kita,"

"Aamiin," jawab Mak Darmi dengan linangan air mata bahagia

View Post
Tema :
Andai Aku Bisa Mengulang Waktu
(Fiksi)

Kasih Tak Berujung
By : Endarryati

"Le, jangan lupa tugasmu hari ini, ya!" Suara tegas Pak Harno

"Iya, Pak," jawab Hasan dengan semangat.
Hasan adalah anak Pak Harno yang no 5 dari sembilan bersaudara. Remaja kerempeng usia  belasan tahun  ini , dalam keseharianya diberi tugas mengambil air ke tetangga sebelah sebelum berangkat sekolah. Didikan orang tuanya yang agak keras membuat Hasan menjadi pribadi yang mandiri dan tidak pantang menyerah.

"Has, dalam ujian kali ini kamu harus persiapkan diri sebaik-baiknya, agar besok kamu bisa masuk ke perguruan tinggi negeri, ya!" ujar Pak Harno penuh harap.

"Inggih, Pak." jawab Has penuh takzim.

Has sangat menghormati kedua orang tuanya. Dia sangat mengerti harapan bapaknya sangat tertumpu padanya, bahwa suatu saat dia harus bisa mengangkat derajat keluarganya.

"Harapan Bapak, kamu bisa masuk ke fakultas kedokteran, ya!" Hasan hanya mengangguk hatinya gamang. Apakah orang tuanya mampu membiayai? Karena kuliah di kedokteran tidaklah murah, padahal bapaknya hanyalah seorang guru.

Dan, Has hanya  lolos pada pilihan kedua melalui  seleksi jalur  bebas tes di fakultas sosial politik. Has mengerti Bapaknya agak kecewa namun bisa menerima. Tidak pantang menyerah pada tahun kedua dia mencoba lagi ikut tes, dan kali ini dia berhasil masuk ke fakultas kedokteran.

***
Kuliah di Fakultas ini bagi dia tidaklah mudah, disamping biayanya mahal dia terpaksa harus kos. Hari-hari di jalaninya dengan penuh keprihatinan. Berbagai  profesi dijalani agar bisa bertahan. Menjadi tukang kebun pun pernah dijalaninya.

Sudah dua jam pemuda ini berdiri di depan pintu Rektorat kampusnya. Hari ini Has ingin menemui Rektornya langsung, untuk sedikit  minta tenggang waktu tentang pembayaran uang kuliahnya. Sudah hampir putus asa, cara apalagi yg harus ditempuh supaya bisa bertahan di kampus ini.

"Tidak bisa Has, kan kamu sudah dapat beasiswa dan juga keringanan dari kampus." Suara Rektor itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Lagi-lagi pemuda tangguh ini harus gigit jari. Dengan langkah gontai Hasan melangkah pergi sambil memutar otak mencari jalan keluar. Terbayang wajah orang tuanya yang berharap banyak kepada dirinya.

"Yup, ini yang harus saya lakukan," gumamnya dalam hati. Iya, akhirnya Hasan menempuh jalan ini, mengambil cuti lalu mencoba mencari keberuntungan di tempat lain.

***

"Le, pulanglah sebentar, Bapak kangen," suara parau Bapaknya terdengar dari ujung telpon. Has terpaku, tak keluar sepatah katapun dari mulutnnya.Tubuhnya lunglai tak berdaya, air matanya menganak sungai di pipinya.Tak biasanya suara bapaknya seperti ini. Perasaanya tak menentu.  Pemuda ini sekarang agak kurusan, sejak mengikuti pendidikan militer  8 bulan yang lalu. Sejak dia tak bisa bertemu keluaganya, karena harus di karantina.

"Le, bagaimana keadaanmu?" tanya Pak Harno lirih. Tubuh lemahnya tergolek di pangkuan anak kebanggaanya.

"Baik kok, Pak," jawab Has sambil terus memeluk bapaknya. Dalam hatinya berjanji setelah pendidikanya usai dia akan melanjutkan lagi kuliahnya, yang sempat dia tinggalkan.

"Maafkan, Bapak ya."
Pak Harno sudah lemah sekali kondisinya. Pertemuan itu sungguh mengharu biru. Sudah hampir satu tahun bapak dan anak ini tak saling bertemu. Dan, ini adalah pertemuan terakhirnya. Di pelukan Has Pak Harno pergi untuk selamanya.

**
"Mas, makanlah dulu sebelum berangkat," Suara istrinya membuyarkan lamunanya

"Iya, Dik terima kasih," jawab Has sambil terus membayangkan wajah bapaknya. Bapaknyalah yang terus memberikan dorongan dan semangat, agar tidak lelah mimpinya. Dia selalu berandai-andai, jika saja waktu bisa diulang. Dia ingin persembahkan semua pencapainya sekarang ini untuk bapaknya. Menjadi seorang dokter sekaligus abdi negara  yang bisa mengangkat derajat kehidupan keluarganya.

"Pak, inilah anakmu sudah aku wujudkan harapan dan cita-citamu. Semoga kau bahagia disana," gumam Has lirih. Ada tetes air bening di sudut matanya.

View Post

Tema : Penyesalan (fiksi)

Sepenggal kisah
Oleh : Endaryati.

Perempuan tua berwajah legam itu masih duduk di depan  tungku, kepulan asap menyamarkan kerut di wajahnya. Entah kenapa,  pagi ini perapianya tidak bisa cepat menyala seperti biasanya.

"Nek, sarapanya sudah matang?" tanya Sekar.

"Sebentar ya, Nak kamu mandi dulu sana ge!" Jawab neneknya, sambil  membuat bumbu nasi goreng. Sudah satu minggu ini Nenek Sekar agak tidak enak badan, hatinya sering gelisah memikirkan cucu satu-satunya ini. Baru saja Sekar keluar dari Rumah Sakit, setelah satu minggu di rawat.

"Ayo, Nduk sarapan dulu waktunya sudah siang nanti kamu terlambat lagi!"

"Iya, Nek." jawab Sekar sambil membetulkan seragam sekolahnya. Sekar menyantap sarapan pagi  dengan lahap, walaupun hanya nasi goreng tanpa krupuk, apalagi telur. Bagi mereka sudah bisa makan saja sudah bersyukur, karena memang kondisinya sangat kekurangan. Sekar adalah cucu satu-satunya Mak Darmi yang menemaninya sejak kecil.

"Sekar berangkat dulu ya, Nek." Sekar berpamitan sambil mencium Neneknya. Sekar berlari kecil sambil bernyanyi-nyanyi riang. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, siapa sangka Sekar gadis periang ini nekat melakukan sesuatu di luar nalar.

Mak Darmi mengantarkan cucunya di depan pintu, hingga lenyap dari pandanganya. Hatinya pilu, terkenang peristiwa satu minggu yang lalu, saat Sekar nekat ingin mengakhiri hidupnya dengan cara minum racun. Sekar tidak punya maksud apa-apa dia hanya ingin bertemu Ibunya, karena neneknya selalu bercerita Ibunya sudah meninggal.
*

Bermula saat teman-teman sekelasnya  datang ke rumahnyal, karena sudah tiga hari Sekar tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Teman-temant Sekar mengira dia sakit, padahal Sekar tidak sekolah karena tak punya uang saku. Bagi Sekar itu tidak masalah sudah terbiasa tidak punya uang, bahkan makanpun tidak mesti tiga kali sehari.

Ada kerinduan yang sangat mendalam di lubuk hati Sekar kepada kedua orang tuanya. Apalagi saat teman-temanya menanyakan ayah dan ibunya. Seperti di bangkitkan, rasa itu kembali hadir menghantui hari-harinya. Sejak lahir Sekar memang belum bisa mengenal ayah ibunya, karena 2 bulan sejak kelahiranya kedua orang tuanya terusir dari rumah neneknya.

*

"Sudahlah, Nduk kamu pilih saja tetap tinggal di rumah ini tanpa suamimu, atau bersama suamimu pergi dari rumah ini!" Ujar Mak Darmi tegas kepada Sumi anak perempuan satu-satunya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut wanita muda ini, dia hanya diam. Sebuah pilihan  yang teramat berat bagi dirinya.

"Maafkan Sumi ya, Mak. Hari ini aku mohon pamit, terpaksa harus meninggalkan Mak sendirian demi sebuah kebaikan. Titip Sekar ya, Mak." kata Sumi dengan tangis yang tertahan.Sejak awal menikah Mak Darmi memang tidak suka terhadap perangai menantunya yang kasar. Bahkan rumah yang ditempati sekarang ini pernah akan di bakar.

Keinginan Mak Darmi sebenarnya adalah agar Sumi bercerai saja. Tetapi, bagi Sumi tidak semudah yang Mak Darmi bayangkan. Karena dua nyawa taruhanya Sekar atau dirinya. Dan Sumi memilih pergi, dengan harapan suatu saat masih bisa bertemu Sekar dan Emaknya.

9 tahun sudah berlalu, keinginan terbesar Mak Darmi bisa bertemu kembali dengan anak semata wayangnya, Sumi. Dan, bisa memenuhi keinginan cucunya bertemu dengan kedua orang tuanya.

Seandainya dulu Mak Darmi bisa bersabar sedikit saja, mungkin peristiwa yang hampir merenggut nyawa cucunya tak terjadi. Namun penyesalan belum tentu bisa mengembalikan kebahagianya. Mak Darmi hanya bisa berdoa semoga masih ada kesempatan mempertemukan Sekar dan Ibunya.

View Post

Tema : Jodoh Masa Depan

Sandung
Oleh : Endaryati

Janji memang belum terucap, namun hatinya sudah terpagut dalam satu jiwa. Sandung termenung di halte itu, entah kemana lagi harus mencari belahan jiwanya. Sejak selesai wisuda Sandung telah meninggalkan kota itu, pulang ke rumah orang tuanya di kampung. Kedatangan sandung kembali ke kota ini adalah mencari Hasca yang selama ini menjadi teman dekatnya.

"Taksi, Mbak?" suara sopir taksi mengejutkan lamunanya.

"Tidak, Pak terima kasih." jawab sandung singkat, sambil menggeser tubuhnya bergerak beberapa langkah. Beberapa penumpang berjubel di halte itu, menunggu bis yang akan membawanya pergi sesuai kota tujuan. Sandung masih berharap pemuda yang ditunggunya muncul dari balik gedung kampus di seberang halte itu. Tapi seseorang yang ditunggu tak kunjung datang.

"Sudah mantap kamu mau pulang ke kampung lagi ?" tanya Pak Gatot, induk semang sandung.

"Iya, Pak. Saya sudah berusaha mecari mas Hasca tapi tidak ketemu." jawab Sandung berusaha menutupi kepedihan hatinya. Rencananya Sandung ingin memperkenalkan Hasca kepada kedua orang tuanya, dan berharap Hasca sudi  melamarnya. Namun harapanya kali ini belum terwujud.

"Saya pamit ya, Pak. Mohon do'anya semoga saat saya datang kembali kesini saya sudah bersama Mas Hasca." suara Sandung lirih. Ada air bening menetes di sudut matanya. Hati gadis ini perih dan pilu. Bingung harus kemana lagi mencari pujaan hatinya. Apa yang harus disampaikan kepada Ayahnya, karena Sandung tak bisa membawa Hasca menemui orang tuanya. Berbagai pertanyaan menghantui pikiranya. Kenapa Hasca tiba-tiba menghilang? Kenapa Hasca tak mau berterus terang?

**

"Jadi kapan Orang tua Hasca akan darang ke rumah, Nduk?" tanya Pak Marta ayah Sandung tegas.

"Belum tau Pak, mungkin bulan depan."  jawab Sandung bimbang. Gadis ini bingung harus bagaimana.

"Jangan lama-lama, Bapak tak mau kamu jadi bahan olok-olokan para tetangga."

"Inggih, Pak mohon doanya." jawab Sandung sambil berlalu. Hati gadis ini semakin galau mengingat Hasca, yang tiba-tiba menghilang. Bagaimana nanti kalau sampai dua bulan Hasca tidak datang ke rumah. Alasan apa lagi yang harus disampaikan kepada Ayahnya.

"Ya, Allah berikan kekuatan kepada hambamu ini." doa Sandung setiap waktu.
Gadis berhidung mancung ini tetap optimis terhadap janji Hasca. Sandung tau betul karakter  pemuda pendiam itu. Dia sangat setia dan bertanggung jawab.

"Nduk, bagaimana rencanamu selanjutnya, ini kan sudah hampir tiga bulan."

"Iya, Pak." jawab Sandung.

"Begini, menurut Bapak, sebaiknya kamu berpikir ulang. Apakah tetap harus menunggu pemuda itu, sedangkan usiamu sudah semakin matang." Sandung hanya diam mendengarkan penjelasan ayahnya. Dia belum bisa melupakan pemuda itu.

"Kemarin Pak Camat datang lagi untuk meminta kamu, Bapak bingung harus menjawab apa." Suara Pak Marta dengan kemarahan yang agak tertahan.
Hati Sandung semakin tak menentu, antara sedih dan bingung. Sedih karena pemuda yang selama ini menjadi tumpuan harapanya menghilang begitu saja. Tak pernah memberi kabar, apakah dia baik-baik saja? Sementara Sandung juga sangat mengkhawatirkan kondisi Hasca. Tidak biasanya Hasca misterius seperti ini. Gaway pemuda itu juga tak bisa dihubungi lagi.

"Maafkan, Sandung belum bisa, Pak." tangis Sandung pecah di pangkuan Ayahnya. Gadis ini tak kuasa menahan kepedihanya. Satu sisi Sandung tak bisa membohongi hatinya, di sisi lain dia ingin berbakti kepada orang tuanya. Sandung masih berharap bisa menemukan Hasca kembali, entah kapan.

"Hasca, datanglah aku menunggumu." Ucap Sandung dalam tangis lirihnya.



* Foto : Koleksi pribadi
View Post